Sabtu, 25 Mei 2013

Bab 1/2 Revisi - 3.KOMUNIKASI EFEKTIF

KOMUNIKASI EFEKTIF
“Aspek lain yang mengagumkan dari perilaku kehidupan lebah adalah komunikasi antar mereka yang sulit untuk dipercaya.  Setelah menemukan sumber makanan, lebah pemandu yang bertugas mencari bunga, terbang lurus ke sarangnya.  Ia memberitahukan kepada lebah-lebah lain, arah, sudut, dan jarak sumber makanan dari sarang dengan sebuah tarian khusus.  Setelah memperhatikan dengan seksama isyarat gerak dalam tarian tersebut, akhirnya lebah-lebah yang lainnya mengetahui posisi sumber makanan tersebut dan menemukannya tanpa kesulitan”.

Definisi Komunikasi dan Komunikasi Efektif
            Pokok bahasan pada sub bab ini akan ditekankan pada model komunikasi yang dianut orang dan diimplementasikan dalam model pembangunan hingga terjadi perubahan sosial dari awal hingga di jaman mutakhir sekarang ini.  Model-model tersebut antara lain  :

1.  Model Komunikasi Linier (Top-Down).
            Komunikasi linier didefinisikan sebagai proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan melalui saluran (penyaring).  Komponen utama dari model ini adalah pesan, sumber (advocacy roles), Gatekeepers (Channel roles), Penerima (behaviour user system), dan umpan balik (feedback).  Pakar-pakar komunikasi yang membidani model ini antara lain Westley dan Malcom (1957), Newcomb (1958), Berlo (1960), dan Roger dan Kincaid (1981).
            Menurut model ini, komunikasi dikatakan efektif apabila penerima yang dalam proses difusi dan adopsi inovasi lebih sering disebut sebagai sasaran mampu menerima pesan (informasi/misi) sesuai dengan yang dikehendaki oleh sumber.
            Rogers dan Shoemaker (1984) mengemukakan bahwa dalam proses perubahan sosial pesan-pesan (massage = M) dioperasikan dari sumber (source = S) kepada penerima (receiver = R) melalui saluran (channel = C).  Secara sederhana model komunikasi linier dapat digambarkan sebagai berikut  :
            Model komunikasi ini pada kenyataannya banyak dicerca, karena kurang demokratis.  Meskipun ada feedback, namun tetap timpang karena ada kesan pemaksaan (diatur) atau arus peluru (jarum hipodermik), lebih mengutamakan kepentingan sumber, dan tidak interaktif sehingga tidak tercapai pemahaman bersama antara sumber (subyek) dengan penerima (obyek).  Dikatakan demikian karena akses (bargaining position) penerima terhadap pesan dan saluran atau media yang digunakan oleh sumber tidak ada, feedback berjalan setelah komunikasi berakhir.  Di kehidupan sehari-hari ini bisa terjadi antara pemerintah dengan masyarakat, antara guru dengan murid, antara penyuluh dengan petani, dan sebagainya.
            Apabila model komunikasi ini diimplementasikan dalam pembangunan maka tendensinya akan mengarah ke rekayasa sosial (social enginering) yang menempatkan yang kuat (sumber) sebagai subyek dan yang lemah (penerima) sebagai obyek, akibatnya terjadi berbagai bias dalam operasionalnya seperti bias elit, biar gender, bias lokasi,  bias stratifikasi dan sebagainya.
            Jadi, meskipun di beberapa negara atau institusi, atau konteks tertentu model komunikasi ini masih dianggap relevan, namun pada kenyataannya selalu berujung dengan masalah yang sangat besar yang berakar dari ketidakpuasan dan kesenjangan.
            Model ini tidak selalu dikatakan sangat naif atau diharamkan dalam proses pembangunan atau kehidupan sehari-hari karena ada momen-momen tertentu yang masih relevan menggunakan model ini, termasuk dalam pemberdayaan sosial (petani dan kelembagaannya).

2.  Model Komunikasi Relational
            Komunikasi relational didefinisikan oleh Schramm (1973) sebagai seperangkat aktivitas interaksi yang berpusat pada informasi sebagai bagian dari hubungan sosial tersebut.  Komponen utama dari model komunikasi ini adalah informasi, hubungan baik antara partisipan, dan penerima aktif.
            Menurut model ini komunikasi dikatakan efektif apabla tercapai pemahaman bersama antara partisipan dan penerima atas suatu pesan atau informasi.  Model komunikasi ini kemudian oleh Kincaid (1979), Roger dan Kincaid (1981) dijadikan sebagai landasan untuk merumuskan model komunikasi konvergen.  Secara sederhana, komunikasi relasional dapat digambarkan sebagai berikut :
            Komunikasi model ini belum dikatakan efektif meskipun berada pada posisi medium.  Dikatakan demikian karena sudah mendekati asas demokrasi atau partisipatif.  Hanya prosesnya masih berlangsung diantara relasi-relasi yang ada.  Kondisi demikian bisa melemah seiring dengan semakin cepatnya arus perubahan sosial yang mengikis social capital dan sumberdaya lokal lainnya.
3.  Model Komunikasi Konvergen (Convergency).
            Komunikasi konvergen didefinisikan sebagai suatu proses konvergen (memusat) dengan informasi yang disepakati bersama oleh pihak-pihak yang berkomunikasi dalam rangka mencapai ke saling pengertian (konsensus).  Komponen utama dari model ini adalah informasi (uncertainly), konvergensi, saling pengertian, kesepakatan bersama, tindakan bersama, jaringan hubungan sosial (net work relationship).
            Menurut model ini komunikasi dikatakan efektif apabila tercapai pemahaman bersama antara pelaku yang terlibat dalam komunikasi.  Disini tidak lagi dikenal istilah sumber dan penerima, tetapi lebih disebut sebagai partisipan (pihak-pihak yang berpartisipasi).  Dalam mekanisme pembangunan, model komunikasi ini kemudian dijadikan sebagai landasan pemberdayaan sosial (Social empowerment).  Secara sederhana model komunikasi ini dapat digambarkan sebagai berikut :
            Model komunikasi pembangunan yang dinilai layak (efektif) untuk dikembangkan adalah model komunikasi interaktif yang menghasilkan keseimbangan dalam perspektif teori pertukaran (exchange theory), melalui jalur kelembagaan yang telah mapan, didukung oleh bentuk-bentuk komunikasi yang efektif baik vertikal maupun horisontal dalam sistem sosial.  Model komunikasi interaktif ini sejalan dan memperhatikan prinsip-prinsip yang berlaku dalam model komunikasi tipe Relational (Schraam, 1973) dan Tipe Convergency (Kincaid, 1979; Roger dan Kincaid, 1981).  Model komunikasi yang dinilai efektif dan relevan untuk pembangunan pertanian adalah sintesa dari ketiga model di atas (Sumardjo, 1999).
            Komponen utama model komunikasi “linier” seperti, pesan, sumber atau komunikator, saluran, penerima dan efek tetap menjadi perhatian penting dalam analisis model konvergen dan model relasional.
            Model komunikasi konvergen atau interaktif seperti disinggung di atas bersifat dua arah, yakni partisipatif vertikal dan horisontal.  Artinya keputusan ditingkat perencana program pembangunan sangat memperhatikan kebutuhan dan kepentingan di tingkat bawah (yang sering disebut sasaran pembangunan), tanpa harus mengabaikan arah dan percepatan pembangunan, dengan titik berat pembangunan berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan memperhatikan hak-haknya sebagai manusia dan warga negara (Chambers, 1993).
            Menurut Sumardjo (1999), alasan pendekatan kovergen lebih tepat di era globalisasi, karena pendekatan ini lebih memungkinkan terjalinnya integrasi (interface) antara kepentingan semua pihak (stakeholdersi) dan spesifikasi lokasi.  Pendekatan ini lebih menempatkan martabat manusia (petani) secara lebih layak, keberadaan petani dengan aspek kepentingan dan kemampuannya menjadi lebih dikenali dan dihargai, sehingga lebih mendorong terjadinya partisipasi masyarakat yang tinggi.

Komunikasi dalam Pemberdayaan Sosial.
            Pemberdayaan sosial (social empowerment) telah menjadi bahan diskusi di berbagai kalangan dengan pemahaman dan pemaknaan yang beragam.  Konsep tersebut lahir dari adanya ketidakberdayaan (disempowerment) yang disebabkan oleh adanya ketimpangan relasi antara yang menguasai dengan yang dikuasai, atau yang berdaya dengan yang tidak berdaya yang lahir dari mekanisme pembangunan yang cenderung searah (top-down).
            Mereka yang dapat dikategorikan ke dalam kelompok tidak berdaya ini meliputi petani kecil, masyarakat kecil, masyarakat adat, serta mereka yang terkooptasi dan termarginalkan oleh kekuasaan mereka yang berdaya.  Akses mereka terhadap pengetahuan, sumber informasi, birokrasi, peraturan atau hukum, dan sumberdaya produktif umumnya sangat terbatas, oleh karena itu mereka perlu diberdayakan agar berdaya.  Pendekatannya dapat dilakukan melalui pemberdayaan.  Kenapa harus pemberdayaan?
            Menurut Chamber (1995) pemberdayaan lebih bersifat “people centred, participatory, empowering, and sustainable”.  Kemudian oleh Friedman (1992) ditegaskan bahwa secara idiologis pemberdayaan merupakan hasil dari dialektika antara konsep “top-down” dengan “bottom-up”, dan antara “growth strategy” dengan “people centred strategy” dan secara praktis lahir dari adanya pertentangan antar otonomi.  Secara teknis pemberdayaan sosial dapat dilakukan melalui tiga sisi, yaitu  :1.  Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang,
2.  Memperkuat potensi atau daya masyarakat, dan
3.  Melindungi masyarakat (advokasi).
            Proses pemberdayaan tidak akan berjalan kalau tidak ada komunikasi, atau kalau komunikasinya berjalan tidak efektif.  Dijelaskan oleh Bertrand (1972) bahwa komunikasi merupakan proses sosial yang menjadi urat nadi dari perubahan sosial dan kebudayaan.  Lebih jauh Wilkinson (1979) menyatakan bahwa community development merupakan tindakan manusia yang terbuka dan memelihara hubungan komunikasi dan kerjasama di antara kelompok-kelompok lokal (acts by people that open and maintain channels of communication and cooperation among local groups).  Dari perspektif di atas, kemudian muncul pertanyaan, bagaimana agar komunikasi itu efektif? Adakah prasyaratnya?
            Mengacu pada pemikiran Melcote (1991) dalam Sumardjo (1999), tampaknya model komunikasi yang efektif bagi sistem sosial dan tingkat perkembangan budaya masyarakat Indonesia adalah perpaduan antara model komunikasi western dan Budhis.  Dengan berdasarkan pada ciri-ciri model komuniaksi western yang terdiri dari emphasis on communicator, influence a key notion, focus control, emphasis on outward process, relationship between communicator and receiver asymetrical, and stress on intellec.  Dan model Budhis dengan ciri-ciri  :  emphasis on receiver, understanding a key notion, focus on choice, emphasis on both outward and inward process, relationship between communicator and receiver symetrical, and stress on emphaty, maka model komunikasi pembangunan yang memungkinkan lahir dari sintesa kedua model tersebut adalah sebagai berikut  :  konvergensi antara komunikator dan komunikan, pemahaman atas a key notion, perhatian pada pilihan terbaik dan kontrol, memperhatikan outward dan inward process, hubungan sosial diantara komunikator dan komunikan simetris, menekankan adanya intelektual dan empati.

Prasyarat Komunikasi Efektif
            Mengacu pada substansi dasar komunikasi yang dikemukakan oleh Berlo (1960) dan Rogers dan Shoemaker (1984), bahwa faktor-faktor yang menentukan efektivitas komunikasi adalah sebagai berikut
1.       Sumber (Source), yang harus diperhatikan dalam hal ini meliputi ketrampilan berkomunikasi, sikap terhadap diri sendiri, sikap terhadap materi, sikap terhadap pelaku yang lain, pengetahuan tentang partner atau pelaku lain, media komunikasi, metode pendekatan (perorangan, kelompok, massal), informasi dan pengetahuan antara semua pihak yang terlibat dalam komunikasi, dan sistem sosial budaya.
2.       Isi Pesan / Informasi, yang harus diperhatikan terdiri dari  :  kode, kelengkapan pesan, dan pengaturan atau treatment.
3.       Media atau saluran, yang harus diperhatikan terdiri dari :  kesesuaian dengan kebutuhan dan kepentingan semua pelaku, sesuai dengan metode yang digunakan, memungkinkan dikuasai oleh partisipan, dan sebagainya.
            Menurut Somavia (1981), komponen esensial dalam suatu pesan komunikasi yang modern hendaknya mengandung makna sebagai berikut :
1.       mengkomunikasikan sesuatu yang menjadi kebutuhan masyarakat.
2.       komunikasi dalam suatu struktur organisasi mengandung pendelegasian wewenang,
3.       mengandung dasar suatu proses pendidikan, dan
4.       komunikasi dalam tugas (task, penyuluhan, pendampingan) mengandung hak-hak (human rights) dan kewajiban (obligation).
Artinya komunikator atau media seharusnya mengarah pada suatu kerangka kerja masyarakat dan tanggung jawab hukum, yang merefleksikan konsensus masyarakat, yang disertai wewenang, hak dan kewajiban.  Jika tidak maka akan terjebak pada konsensus dan proses pendidikan semu.
            Hedebro (1982) mengungkapkan bahwa dalam komunikasi modern ada orientasi politik dalam komunikasi pembangunan, yaitu :
1.       setiap orang berhak untuk mendapatkan kebutuhan informasi sesuai dengan konsensus masyarakat yang berlaku,
2.       perlu ada keseimbangan antara pertukaran informasi pada tingkat personal, regional dan nasional,
3.       informasi dari budaya luar perlu diimbangi dengan informasi nasional (lokal dan internal) yang memadai (proporsional),
4.       perlu dimungkinkan untuk terciptanya struktur komunikasi dua arah (two-way) pada setiap level dalam masyarakat,
5.       setiap orang perlu punya kesempatan untuk berkomunikasi sesuai dengan kemampuannya dan ada perhatian terhadap efektivitasnya,
6.       partisipasi individu dalam masyarakat perlu dihargai secara layak (individual privacy),
7.       setiap orang berhak menjadi komunikator untuk mendapatkan kebutuhan dasarnya secara konstitusional.
            Berbicara tentang komunikasi efektif Habermas (1973), menjelaskan bahwa komunikasi merupakan interaksi yang diantarkan secara simbolis, menurut bahasa dan mengikuti norma-norma.  Bahasa harus dapat dimengerti, benar, jujur dan tepat. Keberlakuan norma-norma itu hanya dapat dijamin melalui kesepakatan dan pengakuan bersama bahwa kita terikat olehnya.  Interaksi komunikasi mengembangkan kepribadian orang, melalui internalisasi peran-peran sosial.  Komunikasi yang salah diganjari sangsi.
            Sebelumnya Habermas menjelaskan bahwa di dalam komunikasi itu, para partisipan membuat lawan bicaranya memahami maksudnya dengan berusaha mencapai apa yang disebutnya.  “Klaim-klaim kesahihan (validity claims), yang terdiri dari  :
1.       Klaim kebenaran ( truth ), ini akan tercapai apabila masing-masing diri kita dapat bersepakat tentang dunia alamiah dan obyektif,
2.       Klaim Ketepatan (raightness), ini akan tercapai kalau sepakat tentang pelaksanaan norma-norma dalam dunia sosial,
3.       Klaim Otentitas atau Kejujuran (sincerety), akan tercapai kalau sepakat tentang kesesuaian antara dunia batiniah dan ekspresi seseorang,
4.       Klaim comprehensibilitas (compreshensibility) akan tercapai jika kita dapat menjelaskan macam-macam klaim itu dan mencapai kesepakatan atasnya.
            Setiap komunikasi yang efektif perlu mencapai klaim-klaim tersebut, dan orang-orang yang mampu berkomunikasi dalam arti menghasilkan klaim-klaim itu, disebutnya memiliki “kompetensi komunikatif”.  Masyarakat komunikatif adalah masyarakat yang melakukan kritik melalui argumentasi.  Klaim-klaim di atas oleh Habermas dipandang sebagai rasional dan akan diterima tanpa paksaan sebagai hasil konsensus.
            Montgomery (1983), menyatakan bahwa faktor penting dalam komunikasi efektif tidak hanya terfokus pada berbicara atau penyampaian pesan yang efektif, tetapi juga mendengarkan yang efektif.  Dalam model komunikasi convergen semua pihak yang terlibat akan melakukan tukar pikiran menuju pemahaman bersama, disini berbicara dan mendengar jelas sama-sama pentingnya.  Inilah sisi penting belajar mendengarkan yang efektif.
            Dalam observasi, cross check, wawancara struktural dan semi struktural dan juga dalam dialog kritis di tengah masyarakat, seorang pemberdaya disamping harus berbicara yang efektif, juga harus mendengarkan secara efektif.  Banyak metode dan teknik untuk berbicara efektif ini, salah satunya dikemukakan oleh Montgomery dapat dilakukan sebagai berikut :
1.       Menunjukkan perhatian kepada pembicara dengan mengarahkan pandangan,
2.       bertanya kepada pembicara tentang apa yang dikatakannya,
3.       menunjukkan perhatian dengan mengajukan pertanyaan tentang perasaan pembicara,
4.       mengulangi beberapa hal yang dikemukakan oleh pembicara,
5.       tidak mendorong atau memaksa pembicara untuk lebih cepat,
6.       bersikap tenang dan emosi terkendali,
7.       memberikan reaksi yang tanggap dengan gerak yang memotivasi dan meningkatkan kepercayaan pembicara,
8.       sangat memberikan perhatian, dan
9.       tidak menyela pembicaraan dan membiarkan pembicara menyelesaikan pokok pikirannya.
            Seperti halnya di dalam hidup, dalam komunikasi pun berbicara dan mendengarkan hendaknya didudukan dalam posisi yang seimbang.  Banyak faktor atau kondisi (moment) yang memungkinkan kapan kita berbicara dan kapan kita mendengarkan secara efektif.  Secara pragmatis konteks-konteks yang menunjuk ke arah itu dapat diilustrasikan dalam tahapan kegiatan di lapangan, seperti :  wawancara, koordinasi, dialog kritis, focus group discusion (fgd), apresiasi dan kegiatan-kegiatan lainnya.

Strategi Komunikasi dalam Pemberdayaan Sosial.
            Seperti halnya dalam perang atau dalam pembangunan, strategi juga diperlukan dalam berkomunikasi.  Tujuannya tentu saja agar komunikasi berjalan efektif.  Middleton, John dan Yvonne Hsu (1981) membuat tahapan-tahapan strategi komunikasi sebagai berikut :
1.       analisis khalayak,
2.       penetapan tujuan,
3.       desain strategis (P, M, S),
4.       menetapkan tujuan manajemen,
5.       merencanakan kegiatan,
6.       menyusun rencana evaluasi.
            Meskipun untuk melakukan tahapan-tahapan di atas dilakukan melalui komunikasi, namun syarat penting lainnya agar komunikasi berjalan efektif adalah memahami secara optimal kondisi sosial, budaya, ekonomi, teknis dan kelembagaan atau PSETK.  Hal-hal penting yang terkandung dalam PSETK yang mendukung efektivitas komunikasi meliputi :
1.       etos komunal (kebiasaan, adat, watak, cara berbuat, dan beberapa arti lainnya yang menunjukkan tentang karakter suatu kelompok atas kelompok lainnya).  Etos adalah masalah tentang baik-buruk, baik-jahat, benar-salah, dan sebagainya.  Etos komunal merupakan karakteristik yang membedakan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.
2.       Karakteristik Masyarakat, termasuk tingkat pendidikan, kemampuan berbahasa, keterbukaan atas media massa, kekosmopolitan, prasyarat dan tingkat partisipasi, jaringan sosial, jaringan kerja, jaringan komunikasi, dan stratifikasi masyarakat.
3.       Permasalahan dan kebutuhan.
4.       Spesifikasi lokasi, termasuk didalamnya adalah kondisi geografis, jenis komoditas yang diusahakan dan modal alami lainnya.
5.       Kelembagaan (institusi) pendukung atau modal sosial lainnya, seperti : ajang-ajang sosial yang tergelar dalam kehidupan komunitas, ruang sosial semi otonom, pengendalian masyarakat, pengawasan sosial, kelompok tani, organisasi sosial dan sebagainya.
6.       Modal ekonomi dan investasi dalam masyarakat.
            Menyinggung masalah modal sosial (social capital), Putnam (1993) menekankan bahwa hubungan organisasi kemasyarakatan secara horizontal atau keberadaam kelompok-kelompok dalam masyarakat (modal sosial) itu sangat penting bagi jalannya proses pembangunan (termasuk efektifitas komunikasi). Seperti halnya Putman, Coleman (1990) dan Knack dan Keefer (1997) juga memandang bahwa aturan formal dan informal, tingkat kepercayaan, dan informal, tingkat kepercayaan, dan kerjasama gotong royong yang membentuk hubungan struktur sosal bermain sebagai kontributor utama dari pengembangan individu atau rganisasi masyarakat tentunya memberikan kontribusi pada semua aspek kehidupan (termasuk efektifitas komunikasi).
            Meskipun pada kenyataannya, social capital sudah banyak yang terdegradasi dari tengah-tengah masyarakat (termasuk dipedesaan), namun bagi seorang pemberdaya (seperti pendamping) berkewajiban untuk mengapresiasikannya (menginternalisasi) kembali. Konsep sperti ini oleh Durkheim, Freud, Cooley, dan Mead dianggap sebagai proses penting dalam kehidupan bermasyarakat. Interlinalisasi disini didefinisikan sebagai upaya  manjadikan atribut kemasyarakatan menjadi atribut anggota masyarakay yang bersangkutan (House, 1981). Untuk mencapai komunikasi yang efektif maka pemberdaya (exs. Pendamping) juga perlu melakukan internalisasi (sosial), artinya menunjuk pada proses yang membuat seseorang menjadi bagian suatu masyarakat (Poloma, 1987), dengan demikian pemberdaya akan lebih mendalami kondisi sosial budaya masyarakat diberdayakan.
            Mengacu pada pemikiran Jurgen Habermas dan Soetarto (1999), untuk mengefektifkan proses pengumpulan data dan analisis khalayak, segi praktis yang dapat dilakukan oleh pemberdaya adalah :
            a)  Pengamatan atas objek-objek visual, seperti : kondisi geografis, fasilitas-fasilitas  fisik ada, transportasi dan komunikasi ke luar desa, dokumen-dokumen tertulis dan sebagainya.
            b)  Wawancara pada elit desa, seperti : kades dan jajarannya, para tokoh desa,                          kecamatan dan warga desa lainnya, dan sebagainya.
            Apabila hal-hal tersebut sudah ada ditangan maka model komunikasi apa yang mau digunakan, untuk menggali kearifan lokal, mendisseminasikan dan atau mengapresiasikan suatu inovasi atau motivasi kepada kelompok yang diberdayakan tinggal menyesuaikan. Begitu pun penggunaan teknik, metode, dan media komunikasi yang akan digunakan tinggal menyesuaikannya dengan kondisi riil masyarakat dan lingkungan. Jika tidak maka sudah dipastikan para pendamping akan banyak menghadapi gangguan atau mungkin kegagalan berkomunikasi. Implikasinya mereka akan berperan layaknya robot-robot yang digerakan secara linier (top-down) atau bekerja sendiri secara serampangan hingga terlepas dari people centred (social empowerment).


Sumber :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar