KOMUNIKASI
EFEKTIF
“Aspek lain yang mengagumkan dari perilaku kehidupan lebah
adalah komunikasi antar mereka yang sulit untuk dipercaya. Setelah menemukan sumber makanan, lebah
pemandu yang bertugas mencari bunga, terbang lurus ke sarangnya. Ia memberitahukan kepada lebah-lebah lain,
arah, sudut, dan jarak sumber makanan dari sarang dengan sebuah tarian
khusus. Setelah memperhatikan dengan
seksama isyarat gerak dalam tarian tersebut, akhirnya lebah-lebah yang lainnya
mengetahui posisi sumber makanan tersebut dan menemukannya tanpa kesulitan”.
Definisi Komunikasi
dan Komunikasi Efektif
Pokok
bahasan pada sub bab ini akan ditekankan pada model komunikasi yang dianut
orang dan diimplementasikan dalam model pembangunan hingga terjadi perubahan
sosial dari awal hingga di jaman mutakhir sekarang ini. Model-model tersebut antara lain :
1. Model Komunikasi Linier (Top-Down).
Komunikasi
linier didefinisikan sebagai proses penyampaian pesan dari komunikator kepada
komunikan melalui saluran (penyaring).
Komponen utama dari model ini adalah pesan, sumber (advocacy roles),
Gatekeepers (Channel roles), Penerima (behaviour user system), dan umpan balik
(feedback). Pakar-pakar komunikasi yang
membidani model ini antara lain Westley dan Malcom (1957), Newcomb (1958),
Berlo (1960), dan Roger dan Kincaid (1981).
Menurut
model ini, komunikasi dikatakan efektif apabila penerima yang dalam proses
difusi dan adopsi inovasi lebih sering disebut sebagai sasaran mampu menerima
pesan (informasi/misi) sesuai dengan yang dikehendaki oleh sumber.
Rogers dan
Shoemaker (1984) mengemukakan bahwa dalam proses perubahan sosial pesan-pesan
(massage = M) dioperasikan dari sumber (source = S) kepada penerima (receiver =
R) melalui saluran (channel = C). Secara
sederhana model komunikasi linier dapat digambarkan sebagai berikut :
Model
komunikasi ini pada kenyataannya banyak dicerca, karena kurang demokratis. Meskipun ada feedback, namun tetap timpang
karena ada kesan pemaksaan (diatur) atau arus peluru (jarum hipodermik), lebih
mengutamakan kepentingan sumber, dan tidak interaktif sehingga tidak tercapai
pemahaman bersama antara sumber (subyek) dengan penerima (obyek). Dikatakan demikian karena akses (bargaining
position) penerima terhadap pesan dan saluran atau media yang digunakan oleh
sumber tidak ada, feedback berjalan setelah komunikasi berakhir. Di kehidupan sehari-hari ini bisa terjadi
antara pemerintah dengan masyarakat, antara guru dengan murid, antara penyuluh
dengan petani, dan sebagainya.
Apabila
model komunikasi ini diimplementasikan dalam pembangunan maka tendensinya akan
mengarah ke rekayasa sosial (social enginering) yang menempatkan yang kuat
(sumber) sebagai subyek dan yang lemah (penerima) sebagai obyek, akibatnya
terjadi berbagai bias dalam operasionalnya seperti bias elit, biar gender, bias
lokasi, bias stratifikasi dan
sebagainya.
Jadi,
meskipun di beberapa negara atau institusi, atau konteks tertentu model
komunikasi ini masih dianggap relevan, namun pada kenyataannya selalu berujung
dengan masalah yang sangat besar yang berakar dari ketidakpuasan dan
kesenjangan.
Model ini
tidak selalu dikatakan sangat naif atau diharamkan dalam proses pembangunan
atau kehidupan sehari-hari karena ada momen-momen tertentu yang masih relevan
menggunakan model ini, termasuk dalam pemberdayaan sosial (petani dan
kelembagaannya).
2. Model Komunikasi Relational
Komunikasi
relational didefinisikan oleh Schramm (1973) sebagai seperangkat aktivitas
interaksi yang berpusat pada informasi sebagai bagian dari hubungan sosial
tersebut. Komponen utama dari model
komunikasi ini adalah informasi, hubungan baik antara partisipan, dan penerima
aktif.
Menurut
model ini komunikasi dikatakan efektif apabla tercapai pemahaman bersama antara
partisipan dan penerima atas suatu pesan atau informasi. Model komunikasi ini kemudian oleh Kincaid
(1979), Roger dan Kincaid (1981) dijadikan sebagai landasan untuk merumuskan
model komunikasi konvergen. Secara
sederhana, komunikasi relasional dapat digambarkan sebagai berikut :
Komunikasi
model ini belum dikatakan efektif meskipun berada pada posisi medium. Dikatakan demikian karena sudah mendekati
asas demokrasi atau partisipatif. Hanya
prosesnya masih berlangsung diantara relasi-relasi yang ada. Kondisi demikian bisa melemah seiring dengan
semakin cepatnya arus perubahan sosial yang mengikis social capital dan
sumberdaya lokal lainnya.
3. Model Komunikasi Konvergen (Convergency).
Komunikasi
konvergen didefinisikan sebagai suatu proses konvergen (memusat) dengan
informasi yang disepakati bersama oleh pihak-pihak yang berkomunikasi dalam
rangka mencapai ke saling pengertian (konsensus). Komponen utama dari model ini adalah
informasi (uncertainly), konvergensi, saling pengertian, kesepakatan bersama,
tindakan bersama, jaringan hubungan sosial (net work relationship).
Menurut
model ini komunikasi dikatakan efektif apabila tercapai pemahaman bersama antara
pelaku yang terlibat dalam komunikasi.
Disini tidak lagi dikenal istilah sumber dan penerima, tetapi lebih
disebut sebagai partisipan (pihak-pihak yang berpartisipasi). Dalam mekanisme pembangunan, model komunikasi
ini kemudian dijadikan sebagai landasan pemberdayaan sosial (Social
empowerment). Secara sederhana model
komunikasi ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Model
komunikasi pembangunan yang dinilai layak (efektif) untuk dikembangkan adalah
model komunikasi interaktif yang menghasilkan keseimbangan dalam perspektif
teori pertukaran (exchange theory), melalui jalur kelembagaan yang telah mapan,
didukung oleh bentuk-bentuk komunikasi yang efektif baik vertikal maupun
horisontal dalam sistem sosial. Model
komunikasi interaktif ini sejalan dan memperhatikan prinsip-prinsip yang
berlaku dalam model komunikasi tipe Relational (Schraam, 1973) dan Tipe
Convergency (Kincaid, 1979; Roger dan Kincaid, 1981). Model komunikasi yang dinilai efektif dan relevan
untuk pembangunan pertanian adalah sintesa dari ketiga model di atas (Sumardjo,
1999).
Komponen
utama model komunikasi “linier” seperti, pesan, sumber atau komunikator,
saluran, penerima dan efek tetap menjadi perhatian penting dalam analisis model
konvergen dan model relasional.
Model
komunikasi konvergen atau interaktif seperti disinggung di atas bersifat dua
arah, yakni partisipatif vertikal dan horisontal. Artinya keputusan ditingkat perencana program
pembangunan sangat memperhatikan kebutuhan dan kepentingan di tingkat bawah
(yang sering disebut sasaran pembangunan), tanpa harus mengabaikan arah dan
percepatan pembangunan, dengan titik berat pembangunan berorientasi pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan memperhatikan hak-haknya sebagai
manusia dan warga negara (Chambers, 1993).
Menurut
Sumardjo (1999), alasan pendekatan kovergen lebih tepat di era globalisasi,
karena pendekatan ini lebih memungkinkan terjalinnya integrasi (interface)
antara kepentingan semua pihak (stakeholdersi) dan spesifikasi lokasi. Pendekatan ini lebih menempatkan martabat
manusia (petani) secara lebih layak, keberadaan petani dengan aspek kepentingan
dan kemampuannya menjadi lebih dikenali dan dihargai, sehingga lebih mendorong
terjadinya partisipasi masyarakat yang tinggi.
Komunikasi dalam
Pemberdayaan Sosial.
Pemberdayaan sosial (social empowerment) telah menjadi bahan diskusi di
berbagai kalangan dengan pemahaman dan pemaknaan yang beragam. Konsep tersebut lahir dari adanya
ketidakberdayaan (disempowerment) yang disebabkan oleh adanya ketimpangan
relasi antara yang menguasai dengan yang dikuasai, atau yang berdaya dengan
yang tidak berdaya yang lahir dari mekanisme pembangunan yang cenderung searah
(top-down).
Mereka
yang dapat dikategorikan ke dalam kelompok tidak berdaya ini meliputi petani
kecil, masyarakat kecil, masyarakat adat, serta mereka yang terkooptasi dan
termarginalkan oleh kekuasaan mereka yang berdaya. Akses mereka terhadap pengetahuan, sumber
informasi, birokrasi, peraturan atau hukum, dan sumberdaya produktif umumnya
sangat terbatas, oleh karena itu mereka perlu diberdayakan agar berdaya. Pendekatannya dapat dilakukan melalui
pemberdayaan. Kenapa harus pemberdayaan?
Menurut
Chamber (1995) pemberdayaan lebih bersifat “people centred, participatory,
empowering, and sustainable”. Kemudian
oleh Friedman (1992) ditegaskan bahwa secara idiologis pemberdayaan merupakan
hasil dari dialektika antara konsep “top-down” dengan “bottom-up”, dan antara
“growth strategy” dengan “people centred strategy” dan secara praktis lahir
dari adanya pertentangan antar otonomi.
Secara teknis pemberdayaan sosial dapat dilakukan melalui tiga sisi,
yaitu :1. Menciptakan suasana atau iklim yang
memungkinkan potensi masyarakat berkembang,
2. Memperkuat potensi
atau daya masyarakat, dan
3. Melindungi
masyarakat (advokasi).
Proses
pemberdayaan tidak akan berjalan kalau tidak ada komunikasi, atau kalau
komunikasinya berjalan tidak efektif.
Dijelaskan oleh Bertrand (1972) bahwa komunikasi merupakan proses sosial
yang menjadi urat nadi dari perubahan sosial dan kebudayaan. Lebih jauh Wilkinson (1979) menyatakan bahwa
community development merupakan tindakan manusia yang terbuka dan memelihara
hubungan komunikasi dan kerjasama di antara kelompok-kelompok lokal (acts by
people that open and maintain channels of communication and cooperation among
local groups). Dari perspektif di atas,
kemudian muncul pertanyaan, bagaimana agar komunikasi itu efektif? Adakah
prasyaratnya?
Mengacu
pada pemikiran Melcote (1991) dalam Sumardjo (1999), tampaknya model komunikasi
yang efektif bagi sistem sosial dan tingkat perkembangan budaya masyarakat
Indonesia adalah perpaduan antara model komunikasi western dan Budhis. Dengan berdasarkan pada ciri-ciri model
komuniaksi western yang terdiri dari emphasis on communicator, influence a key
notion, focus control, emphasis on outward process, relationship between
communicator and receiver asymetrical, and stress on intellec. Dan model Budhis dengan ciri-ciri :
emphasis on receiver, understanding a key notion, focus on choice,
emphasis on both outward and inward process, relationship between communicator
and receiver symetrical, and stress on emphaty, maka model komunikasi
pembangunan yang memungkinkan lahir dari sintesa kedua model tersebut adalah
sebagai berikut : konvergensi antara komunikator dan komunikan,
pemahaman atas a key notion, perhatian pada pilihan terbaik dan kontrol,
memperhatikan outward dan inward process, hubungan sosial diantara komunikator
dan komunikan simetris, menekankan adanya intelektual dan empati.
Prasyarat Komunikasi
Efektif
Mengacu
pada substansi dasar komunikasi yang dikemukakan oleh Berlo (1960) dan Rogers
dan Shoemaker (1984), bahwa faktor-faktor yang menentukan efektivitas komunikasi
adalah sebagai berikut
1.
Sumber (Source), yang harus diperhatikan dalam
hal ini meliputi ketrampilan berkomunikasi, sikap terhadap diri sendiri, sikap
terhadap materi, sikap terhadap pelaku yang lain, pengetahuan tentang partner
atau pelaku lain, media komunikasi, metode pendekatan (perorangan, kelompok,
massal), informasi dan pengetahuan antara semua pihak yang terlibat dalam
komunikasi, dan sistem sosial budaya.
2.
Isi Pesan / Informasi, yang harus diperhatikan
terdiri dari : kode, kelengkapan pesan, dan pengaturan atau
treatment.
3.
Media atau saluran, yang harus diperhatikan
terdiri dari : kesesuaian dengan
kebutuhan dan kepentingan semua pelaku, sesuai dengan metode yang digunakan,
memungkinkan dikuasai oleh partisipan, dan sebagainya.
Menurut
Somavia (1981), komponen esensial dalam suatu pesan komunikasi yang modern
hendaknya mengandung makna sebagai berikut :
1.
mengkomunikasikan sesuatu yang menjadi kebutuhan
masyarakat.
2.
komunikasi dalam suatu struktur organisasi
mengandung pendelegasian wewenang,
3.
mengandung dasar suatu proses pendidikan, dan
4.
komunikasi dalam tugas (task, penyuluhan, pendampingan)
mengandung hak-hak (human rights) dan kewajiban (obligation).
Artinya komunikator atau media seharusnya mengarah pada
suatu kerangka kerja masyarakat dan tanggung jawab hukum, yang merefleksikan
konsensus masyarakat, yang disertai wewenang, hak dan kewajiban. Jika tidak maka akan terjebak pada konsensus
dan proses pendidikan semu.
Hedebro
(1982) mengungkapkan bahwa dalam komunikasi modern ada orientasi politik dalam
komunikasi pembangunan, yaitu :
1.
setiap orang berhak untuk mendapatkan kebutuhan
informasi sesuai dengan konsensus masyarakat yang berlaku,
2.
perlu ada keseimbangan antara pertukaran
informasi pada tingkat personal, regional dan nasional,
3.
informasi dari budaya luar perlu diimbangi
dengan informasi nasional (lokal dan internal) yang memadai (proporsional),
4.
perlu dimungkinkan untuk terciptanya struktur
komunikasi dua arah (two-way) pada setiap level dalam masyarakat,
5.
setiap orang perlu punya kesempatan untuk
berkomunikasi sesuai dengan kemampuannya dan ada perhatian terhadap efektivitasnya,
6.
partisipasi individu dalam masyarakat perlu
dihargai secara layak (individual privacy),
7.
setiap orang berhak menjadi komunikator untuk
mendapatkan kebutuhan dasarnya secara konstitusional.
Berbicara
tentang komunikasi efektif Habermas (1973), menjelaskan bahwa komunikasi
merupakan interaksi yang diantarkan secara simbolis, menurut bahasa dan
mengikuti norma-norma. Bahasa harus
dapat dimengerti, benar, jujur dan tepat. Keberlakuan norma-norma itu hanya
dapat dijamin melalui kesepakatan dan pengakuan bersama bahwa kita terikat
olehnya. Interaksi komunikasi
mengembangkan kepribadian orang, melalui internalisasi peran-peran sosial. Komunikasi yang salah diganjari sangsi.
Sebelumnya
Habermas menjelaskan bahwa di dalam komunikasi itu, para partisipan membuat
lawan bicaranya memahami maksudnya dengan berusaha mencapai apa yang
disebutnya. “Klaim-klaim kesahihan
(validity claims), yang terdiri dari :
1.
Klaim kebenaran ( truth ), ini akan tercapai
apabila masing-masing diri kita dapat bersepakat tentang dunia alamiah dan
obyektif,
2.
Klaim Ketepatan (raightness), ini akan tercapai
kalau sepakat tentang pelaksanaan norma-norma dalam dunia sosial,
3.
Klaim Otentitas atau Kejujuran (sincerety), akan
tercapai kalau sepakat tentang kesesuaian antara dunia batiniah dan ekspresi
seseorang,
4.
Klaim comprehensibilitas (compreshensibility)
akan tercapai jika kita dapat menjelaskan macam-macam klaim itu dan mencapai
kesepakatan atasnya.
Setiap
komunikasi yang efektif perlu mencapai klaim-klaim tersebut, dan orang-orang
yang mampu berkomunikasi dalam arti menghasilkan klaim-klaim itu, disebutnya
memiliki “kompetensi komunikatif”.
Masyarakat komunikatif adalah masyarakat yang melakukan kritik melalui
argumentasi. Klaim-klaim di atas oleh
Habermas dipandang sebagai rasional dan akan diterima tanpa paksaan sebagai
hasil konsensus.
Montgomery
(1983), menyatakan bahwa faktor penting dalam komunikasi efektif tidak hanya
terfokus pada berbicara atau penyampaian pesan yang efektif, tetapi juga
mendengarkan yang efektif. Dalam model
komunikasi convergen semua pihak yang terlibat akan melakukan tukar pikiran
menuju pemahaman bersama, disini berbicara dan mendengar jelas sama-sama
pentingnya. Inilah sisi penting belajar
mendengarkan yang efektif.
Dalam
observasi, cross check, wawancara struktural dan semi struktural dan juga dalam
dialog kritis di tengah masyarakat, seorang pemberdaya disamping harus
berbicara yang efektif, juga harus mendengarkan secara efektif. Banyak metode dan teknik untuk berbicara
efektif ini, salah satunya dikemukakan oleh Montgomery dapat dilakukan sebagai
berikut :
1.
Menunjukkan perhatian kepada pembicara dengan
mengarahkan pandangan,
2.
bertanya kepada pembicara tentang apa yang
dikatakannya,
3.
menunjukkan perhatian dengan mengajukan
pertanyaan tentang perasaan pembicara,
4.
mengulangi beberapa hal yang dikemukakan oleh
pembicara,
5.
tidak mendorong atau memaksa pembicara untuk
lebih cepat,
6.
bersikap tenang dan emosi terkendali,
7.
memberikan reaksi yang tanggap dengan gerak yang
memotivasi dan meningkatkan kepercayaan pembicara,
8.
sangat memberikan perhatian, dan
9.
tidak menyela pembicaraan dan membiarkan
pembicara menyelesaikan pokok pikirannya.
Seperti
halnya di dalam hidup, dalam komunikasi pun berbicara dan mendengarkan
hendaknya didudukan dalam posisi yang seimbang.
Banyak faktor atau kondisi (moment) yang memungkinkan kapan kita
berbicara dan kapan kita mendengarkan secara efektif. Secara pragmatis konteks-konteks yang
menunjuk ke arah itu dapat diilustrasikan dalam tahapan kegiatan di lapangan,
seperti : wawancara, koordinasi, dialog
kritis, focus group discusion (fgd), apresiasi dan kegiatan-kegiatan lainnya.
Strategi Komunikasi
dalam Pemberdayaan Sosial.
Seperti
halnya dalam perang atau dalam pembangunan, strategi juga diperlukan dalam
berkomunikasi. Tujuannya tentu saja agar
komunikasi berjalan efektif. Middleton,
John dan Yvonne Hsu (1981) membuat tahapan-tahapan strategi komunikasi sebagai
berikut :
1.
analisis khalayak,
2.
penetapan tujuan,
3.
desain strategis (P, M, S),
4.
menetapkan tujuan manajemen,
5.
merencanakan kegiatan,
6.
menyusun rencana evaluasi.
Meskipun
untuk melakukan tahapan-tahapan di atas dilakukan melalui komunikasi, namun
syarat penting lainnya agar komunikasi berjalan efektif adalah memahami secara
optimal kondisi sosial, budaya, ekonomi, teknis dan kelembagaan atau
PSETK. Hal-hal penting yang terkandung
dalam PSETK yang mendukung efektivitas komunikasi meliputi :
1.
etos komunal (kebiasaan, adat, watak, cara
berbuat, dan beberapa arti lainnya yang menunjukkan tentang karakter suatu
kelompok atas kelompok lainnya). Etos
adalah masalah tentang baik-buruk, baik-jahat, benar-salah, dan
sebagainya. Etos komunal merupakan karakteristik
yang membedakan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.
2.
Karakteristik Masyarakat, termasuk tingkat
pendidikan, kemampuan berbahasa, keterbukaan atas media massa, kekosmopolitan,
prasyarat dan tingkat partisipasi, jaringan sosial, jaringan kerja, jaringan
komunikasi, dan stratifikasi masyarakat.
3.
Permasalahan dan kebutuhan.
4.
Spesifikasi lokasi, termasuk didalamnya adalah
kondisi geografis, jenis komoditas yang diusahakan dan modal alami lainnya.
5.
Kelembagaan (institusi) pendukung atau modal sosial
lainnya, seperti : ajang-ajang sosial yang tergelar dalam kehidupan komunitas,
ruang sosial semi otonom, pengendalian masyarakat, pengawasan sosial, kelompok
tani, organisasi sosial dan sebagainya.
6.
Modal ekonomi dan investasi dalam masyarakat.
Menyinggung masalah modal sosial (social
capital), Putnam (1993) menekankan bahwa hubungan organisasi kemasyarakatan
secara horizontal atau keberadaam kelompok-kelompok dalam masyarakat (modal
sosial) itu sangat penting bagi jalannya proses pembangunan (termasuk
efektifitas komunikasi). Seperti halnya Putman, Coleman (1990) dan Knack dan
Keefer (1997) juga memandang bahwa aturan formal dan informal, tingkat
kepercayaan, dan informal, tingkat kepercayaan, dan kerjasama gotong royong
yang membentuk hubungan struktur sosal bermain sebagai kontributor utama dari
pengembangan individu atau rganisasi masyarakat tentunya memberikan kontribusi
pada semua aspek kehidupan (termasuk efektifitas komunikasi).
Meskipun
pada kenyataannya, social capital sudah banyak yang terdegradasi dari
tengah-tengah masyarakat (termasuk dipedesaan), namun bagi seorang pemberdaya
(seperti pendamping) berkewajiban untuk mengapresiasikannya (menginternalisasi)
kembali. Konsep sperti ini oleh Durkheim, Freud, Cooley, dan Mead dianggap
sebagai proses penting dalam kehidupan bermasyarakat. Interlinalisasi disini
didefinisikan sebagai upaya manjadikan
atribut kemasyarakatan menjadi atribut anggota masyarakay yang bersangkutan
(House, 1981). Untuk mencapai komunikasi yang efektif maka pemberdaya (exs.
Pendamping) juga perlu melakukan internalisasi (sosial), artinya menunjuk pada
proses yang membuat seseorang menjadi bagian suatu masyarakat (Poloma, 1987),
dengan demikian pemberdaya akan lebih mendalami kondisi sosial budaya masyarakat
diberdayakan.
Mengacu
pada pemikiran Jurgen Habermas dan Soetarto (1999), untuk mengefektifkan proses
pengumpulan data dan analisis khalayak, segi praktis yang dapat dilakukan oleh
pemberdaya adalah :
a) Pengamatan atas objek-objek visual, seperti :
kondisi geografis, fasilitas-fasilitas fisik
ada, transportasi dan komunikasi ke luar desa, dokumen-dokumen tertulis dan sebagainya.
b) Wawancara pada elit desa, seperti : kades dan
jajarannya, para tokoh desa, kecamatan dan warga desa
lainnya, dan sebagainya.
Apabila
hal-hal tersebut sudah ada ditangan maka model komunikasi apa yang mau
digunakan, untuk menggali kearifan lokal, mendisseminasikan dan atau
mengapresiasikan suatu inovasi atau motivasi kepada kelompok yang diberdayakan
tinggal menyesuaikan. Begitu pun penggunaan teknik, metode, dan media
komunikasi yang akan digunakan tinggal menyesuaikannya dengan kondisi riil
masyarakat dan lingkungan. Jika tidak maka sudah dipastikan para pendamping
akan banyak menghadapi gangguan atau mungkin kegagalan berkomunikasi.
Implikasinya mereka akan berperan layaknya robot-robot yang digerakan secara
linier (top-down) atau bekerja sendiri secara serampangan hingga terlepas dari
people centred (social empowerment).
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar